Perkawinan Campuran di Mata Hukum Indonesia: Antara Cinta dan Ketentuan Konstitusi

Oleh: Adv. Totok Waluyo, S.H. (Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Bali – Peradi Utama)

Media Patrolibali, Denpasar – Perkawinan adalah hak setiap individu, namun ketika cinta melintasi batas negara, hukum pun mulai berbicara lebih rinci.

Dalam konteks hukum positif Indonesia, perkawinan antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) tidak hanya merupakan urusan pribadi, tetapi juga menyangkut berbagai aspek yuridis yang kompleks.

Menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda karena perbedaan kewarganegaraan.

Perkawinan semacam ini tetap diakui, tetapi pelaksanaannya tidak sederhana, karena harus memperhatikan aturan lintas negara, termasuk dokumen legal, sistem hukum perdata masing-masing pihak, dan hak-hak yang timbul pascaperkawinan.

Dalam praktiknya, pasangan campuran harus melewati prosedur administratif yang ketat. Misalnya, WNA wajib menyerahkan surat keterangan tidak sedang terikat perkawinan dari negara asal, dan perkawinan harus dilaporkan ke kantor pencatatan sipil atau KUA (jika dilakukan secara agama Islam).

Bila dilakukan di luar negeri, perkawinan tersebut wajib dicatatkan pada perwakilan RI setempat dan dilaporkan dalam 30 hari setelah tiba kembali di Indonesia.

Namun polemik muncul ketika membahas režim harta benda. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015, WNI yang menikah dengan WNA tetap berhak atas hak milik atas tanah dengan syarat membuat perjanjian kawin sebelum pernikahan. Putusan ini mengubah ketentuan sebelumnya yang membuat banyak WNI kehilangan hak atas properti mereka karena tidak adanya perjanjian pemisahan harta saat menikah dengan WNA.

Persoalan anak hasil perkawinan campuran juga menjadi sorotan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan membuka ruang bagi kewarganegaraan ganda terbatas, di mana anak dari perkawinan campuran dapat memiliki dua kewarganegaraan hingga usia 18 tahun dan kemudian harus memilih salah satunya.

Hal ini merupakan kompromi yang cukup adil, namun tetap menimbulkan dilema bagi keluarga yang hidup lintas negara.

Secara keseluruhan, hukum Indonesia sudah memberikan ruang bagi perkawinan campuran, tetapi dengan koridor hukum yang ketat. Hal ini bukan tanpa alasan: negara ingin memastikan tidak terjadi penyalahgunaan status, eksploitasi hak atas tanah, atau pelanggaran terhadap sistem hukum nasional.***

About Rudi

Check Also

Polda Bali Pastikan Kinerja Polisi yang Humanis dan Profesional

Media Patrolibali, Denpasar, Bali – Anggota Subbidprovos Bidpropam Polda Bali melakukan pengawasan kegiatan patroli dan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *